guru
Kisah ini terjadi kira-kira sebulan yang lalu.
Perjalanan pulang dari bursa buku braga, tinggal berdua.saya dan Kamal. Diatas angkot kalapa dago. Angkot berhenti sembarangan, menutupi jalan masuk kendaraan ke optic melaway. Saya kesal. Supir ini ngasal.
Kesal saya diperhatikan Tuhan , mobil patroli polisi lewat dan didepan angkot mereka merapat (sepertinya ini bukan karena Tuhan memperhatikan kesal saya saja, disitu banyak pihak terlibat dan Tuhan selalu memberi perhatian sekecil apapun untuk semua pihak).
Saya senang. Dalam angan saya, akhirnya Pak supir mendapat pelajaran yang baik, semoga jadi jera. Tapi apa daya, pelajarannya ternyata buruk. Si supir menghampiri jendela, menghadap gurunya. Dan dengan musyawarah mufakat serta suasana kekeluargaan yang terlalu diagungkan…kasus dan pelajaran hidup ini ditutup. Polisi-polisi itu gagal menjadi guru. Dan si supir tak kunjung memperoleh pelajaran yang (mungkin dianugrahkan Tuhan untuk) pantas ia terima. Tapi begitupun ia senang-senang saja. Ah, akhirnya jadi buruk begini. Kedua pihak ini jadi pecundang dan penjahatnya.
Di imajinasiku yang terjauh , aku berharap kaset kehidupanku sore itu memutar film dengan actor dan latar yang sama, tapi plot ceritanya harus beda. Pak polisi memberi pelajaran berharga dengan menyuruh sopir tadi membantunya menertibkan lalu lintas barang sejam. Dengan perjanjian kalau hal ini terulang, pelajaran akan ditingkatkan ( mungkin angkotnya sudah layak ditahan puluhan jam ). Harapannya sang sopir tidak melakukan lagi pelanggaran dengan sengaja. Di film hidup hayalanku, semua tokoh jadi pemeran protagonist. Polisi kebanggaan menjadi guru, sang sopir pekerja keras yang khilaf menjadi orang yang belajar dari kesalahan.
Untuk diri, harapanku, apapun profesiku nanti..aku bisa menempatkan diri sebagai guru. Guru yang disetiap kondisi bisa mengambil dan menularkan hikmah. Minimal guru untuk diri sendiri ( kalau kata pak andreas harefa namanya ini pembelajar).
Ya Allah dengarkanlah hambamu. Rahmatilah aku.
Perjalanan pulang dari bursa buku braga, tinggal berdua.saya dan Kamal. Diatas angkot kalapa dago. Angkot berhenti sembarangan, menutupi jalan masuk kendaraan ke optic melaway. Saya kesal. Supir ini ngasal.
Kesal saya diperhatikan Tuhan , mobil patroli polisi lewat dan didepan angkot mereka merapat (sepertinya ini bukan karena Tuhan memperhatikan kesal saya saja, disitu banyak pihak terlibat dan Tuhan selalu memberi perhatian sekecil apapun untuk semua pihak).
Saya senang. Dalam angan saya, akhirnya Pak supir mendapat pelajaran yang baik, semoga jadi jera. Tapi apa daya, pelajarannya ternyata buruk. Si supir menghampiri jendela, menghadap gurunya. Dan dengan musyawarah mufakat serta suasana kekeluargaan yang terlalu diagungkan…kasus dan pelajaran hidup ini ditutup. Polisi-polisi itu gagal menjadi guru. Dan si supir tak kunjung memperoleh pelajaran yang (mungkin dianugrahkan Tuhan untuk) pantas ia terima. Tapi begitupun ia senang-senang saja. Ah, akhirnya jadi buruk begini. Kedua pihak ini jadi pecundang dan penjahatnya.
Di imajinasiku yang terjauh , aku berharap kaset kehidupanku sore itu memutar film dengan actor dan latar yang sama, tapi plot ceritanya harus beda. Pak polisi memberi pelajaran berharga dengan menyuruh sopir tadi membantunya menertibkan lalu lintas barang sejam. Dengan perjanjian kalau hal ini terulang, pelajaran akan ditingkatkan ( mungkin angkotnya sudah layak ditahan puluhan jam ). Harapannya sang sopir tidak melakukan lagi pelanggaran dengan sengaja. Di film hidup hayalanku, semua tokoh jadi pemeran protagonist. Polisi kebanggaan menjadi guru, sang sopir pekerja keras yang khilaf menjadi orang yang belajar dari kesalahan.
Untuk diri, harapanku, apapun profesiku nanti..aku bisa menempatkan diri sebagai guru. Guru yang disetiap kondisi bisa mengambil dan menularkan hikmah. Minimal guru untuk diri sendiri ( kalau kata pak andreas harefa namanya ini pembelajar).
Ya Allah dengarkanlah hambamu. Rahmatilah aku.