semoga arif dan rahman

mencintai dan mengabdi

Name:
Location: bandung, Jawa Barat, Indonesia

biasa aja

Monday, December 26, 2005

ANCUR

Kamar kos.
Sore.
26 Desember 2005 pukul 17.30 WIB.
Salah satu Stasiun Televisi.

Banda Aceh.
Barak Pengunsi
Ada seorang janda korban tsunami. Satu tahun tinggal dibarak pengungsi. Bekas rumahnya terendam air, jadi rawa. Ia belum mendapat rumah. Ia belum mampu menyediakan tanah sendiri.

Jakarta.
Ruang Sidang Wakil Rakyat
Ada pelayan sijanda yang dengan bangga menyebut dirinya wakil rakyat. Baru saja pulang pesiar dari Mesir. Menghabiskan dana majikan ratusan juta. Dalihnya meninjau RUU Perjudian.


Ya sudah..
kumenangis
seadanya
sekuat tenaga

Ya sudaaaaaaaaaaaaaahhllllaaaaahhhhhhhhh

Kau memang
setan alas
nggak punya perasaan

ANCUR !

Doaku ....

( lanjutkan sendiri lagu Iwan Fals-nya )

tentang kita

Tentang Kita

Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.
( Rendra )
Waktu itu hari Minggu , 4 Desember 2005, waktu hampir menujukkan pukul 5, langit diatas Sabuga mendung. Diatas panggung Pure Saturday telah membawakan 2-3 lagu, disaat jeda sang vokalis mencoba berinteraksi dengan penonton :
“ Yang anak ITB ngacung donk ? “
“Wah , kok malu- malu ? “
Serentak, beberapa mahasiswa ITB mengacungkan tangan.
“ Wah hebat lu anak-anak ITB “ ( sedikit sinis )
“ Dulu gw juga anak ITB, waktu pertama masuk dah diajarin congkak . pake sambutan spanduk dari rektor ITB ‘ Selamat datang putra-putri terbaik bangsa ‘. Kalian jangan kayak gitu, ke ITB belajar congkak “
Kalian jangan kaya gitu, ke ITB belajar congkak . nasihat sinis yang berharga,
Dulu, waktu masih SLTP dan SMA pengen betul rasanya jadi mahasiswa. Bangga benar, karena nama mahasiswa itu sendiri telah lebih dulu diharumkan oleh kader-kader terbaiknya. Soekarno, Hatta, Syahrir, Adam Malik, Arif Rahman Hakim, Soe Hok Gie, Hariman Siregar, Fajrul Rahman sampai Rama Pratama, semua telah menorehkan tinta emas bagi bangsanya.
Namun sekarang ini, setelah jadi mahasiswa itu sendiri. Saya malah merasakan nilai-nilai kepahlawanan dan semangat pengabdian itu tidak lagi diperhatikan dikampus ini ( selain pendidikan dan penelitian, kita punya dharma untuk melakukan pengabdian masyarakat ). Yang sangat kental saya rasakan sebagai mahasiswa ITB adalah semangat membanggakan dan eksklusifisme. Tidak tanggung-tanggung hal ini dapat kita lihat di hampir dikesemua sisi kehidupan. Arogansi itu dimulai saat pertama masuk ke kampus Ganesha Sepuluh ini, dipertajam dibangku-bangku kuliah dan di lingkup himpunan. Kita belajar arogan tak hanya kepada dunia luar, tetapi pada tetangga di dalam. Arogan yang bukan bangga. Karena ada unsur memandang rendah dan menindas pihak yang dianggap lemah.
Selamat datang putra-putri terbaik bangsa. Sebagai terbaik bangsa, seharusnya kita juga sadar atau disadarkan akan posisi kita sebagai penanggung jawab terbesar bangsa . Kita disubsidi oleh negara. Tidak main-main jumlahnya. Bahkan rakyat yang kelaparan pun pajaknya mungkin masuk ke rekening ITB, untuk meringankan beban uang kuliah kita.
Dulu waktu Soekarno di Technische Hugeschool, Hatta ke Belanda, beliau insyaf betul posisinya sebagai penanggung jawab terbesar bangsa. Sebagai kaum cerdik cendikia merekalah yang akan memegang masa depan Indonesia ( Hindia Belanda) .Mereka sadar akan hal itu, karenanya dengan insyaf mereka beraktivitas di kelompok-kelompok mahasiswa perjuangan, melakukan aliansi, mempelajari kultur budaya bangsa , mengembangkan diri, bedebat sampai diplomasi , belajar hukum hingga filsafat – walaupun hal ini tidak termasuk mata kuliahnya.
Pendidikan –terutama diinstitut ini- tidak hanya sebagai sarana pembebasan dari kungkungan pikiran, lebih dari itu ia juga merupakan instrumen terpenting perubahan sosial. Sekarang, alih-alih instrumen perubahan sosial, pendidikan kering inspirasi yang kita rasakan di ITB pun tidak lagi jadi sarana pembebasan pikiran. Terbukti, banyak dari kita begitu masuk ITB malah jadi arogan, berpikiran sempit, dan tidak peka pada permasalahan masyarakat.
Pengajaran di ITB tidak mengajarkan kita -penanggung jawab terbesar bangsa- untuk berfikir cerdas, inovatif, kreatif dan terutama tepat guna . Ilmu pengetahuan bulat-bulat di telan dari Barat dan Jepang, tanpa mempertimbangkan kebutuhan utama kita sebagai bangsa. Lihatlah saya, calon sarjana Teknik Industri dicekoki segala macam ilmu yang berdoktrin efesiensi dan efektifiktas. Tidak salah. Yang saya rasa keliru adalah saat semua ilmu yang saya pelajari itu -secara sengaja atau tidak - diarahkan untuk perbaikan perusahaan-perusahaan besar saja, perusahaan asing bila perlu. Ujung-ujungnya pendidikan ini digunakan untuk kepentingan konglomerasi, bukan untuk memberdayakan rakyat kecil. Menjadi babu di MNC diperlihatkan lebih membanggakan dibandingkan menjadi bos di perusahaan kecil milik sendiri. Menjadi juara desain mobil sedan sport diperlihatkan lebih prestisius dibandingkan juara desain mesin murah penggiling padi. Kita sebagai bangsa yang 60 tahun merdeka latah dengan pesatnya perkembangan teknologi negara-negara maju dan berusaha keras mengejarnya. Teknologi pesawat, satelit, handpone, dan segudang teknologi canggih lainnya terus berusaha kita adopsi. Namun teknologi pertanian dan perikanan yang menjadi aset terbesar mayoritas rakyat Indonesia tidak pernah kita perhatikan.
Dalam kuliah yang berbasis kompetensi ini kita diajarkan hanyalah peningkatan kemapuan untuk ” mengamankan diri ”. Kita harus belajar, masuk Lab, dapat IPK bagus biar bisa kerja , berkarir bagus dan bergaji tinggi, karena dunia kapitalis saat ini menuntut kompetensi tinggi untuk menyikut saingan dan menyelamatkan diri .Kenapa harus bersaing kalau bisa bersimbiosis?. Mahasiswa dikampus ini terus dimesinkan, terus dikikis aspek manusianya, yang miskin.. yang homesick..yang broken home..yang..yang.. dengan IPK dibawah 1 dan mendapat nilai E lebih dari batas waktu harus meninggalkan pabrik ini. Bukan hanya itu, ditengah bolong-bolong perkuliahan di ITB. Akhir-akhir ini pihak petinggi institusi justru berusaha mematikan dunia kemahasiswaan. Modus operandinya masih yang lama : memberi sanksi akademik bagi pemimpin organisasi kemahasiswaan dan memadatkan kurikulum kuliah, plusnya adalah pelarangan kaderisasi.
Dunia kemahasiswaan kedepan diarahkan hanya untuk kegiatan keilmuan dan keprofesian. Kemahasiswaan kedepan adalah dunia yang mendukung sepenuhnya kita menjadi pekerja terhandal di perusahaan-perusahaan besar. Kajian yang ada hanya kajian terkait basis keilmuan. Pengembangan diri disempitkan berupa pelatihan menulis dan presentasi yang memudahkan dalam dunia kerja nanti. Kegiatan yang didukung adalah kegiatan berbasis keprofesian. Salah ? tidak. Kurang ? ia ! .
Kurang sekali. Karena saat ini banyak sekali mahasiswa yang alasan berkegiatannya adalah agar terlihat aktif dan berpengalaman di CV. Pelatihan dan seminar yang diikuti visinya terbatas pada peningkatan potensi diri untuk memudahkan keterima kerja nanti. Karena banyak sekali mahasiswa pintar dari desa malah membawa kepintarannya kekota-kota besar, ke perusahaan-perusahaan bernama. Daerahnya yang terpencil dan tak terdidik serta merta ditinggalkan. Sekolah didesa yang dulu mengajarkannya menulis dan membaca dibiarkan rubuh, tanpa guru..tanpa buku.
Kurang sekali. Karena kita sebagai mahasiswa harus terus disadarkan dan menyadari tentang realitas sosial . Memiliki kepedulian akan lingkungan sekitar. Berpikir dan berusaha lebih, karena kita diberi nikmat berlebih. Berusaha menjawab berbagai permasalahan bangsa, bukan melarikan diri dan cari selamat sendiri.
Kita mahasiswa memilik banyak dunia, yang kesemuanya harus kita perankan dengan bijak sesuai porsi . Kita mahasiswa adalah pelajar yang harus menuntut ilmu di bangku kuliah dan laboratorium. Namun kita juga adalah aktivis yang harus mengembangkan diri dan memepuk keinsyafan dalam berorganisasi dan berkegiatan.
Karena kita adalah penanggung jawab terbesar bangsa.
Kita adalah pemilik sah masa depan Indonesia.
Hidup Mahasiswa !





Wallahu alam bis showab.
Semoga Allah selalu melindungi diri ku dari kebohongan dan kemunafikan.
Amin.



Kamar Kos Pukul 22.55
23 Desember 2005