kebenaran itu (bisa) pahit..
Saya salah satu orang yang sulit untuk memahami kesederhanaan kebenaran. Walaupun ianya bisa sangat gamblang diperoleh lewat nurani dan hukum ( Tuhan dan manusia) , tapi nyatanya saat praktek di dunia nyata sangatlah sulit. Banyak sekali variabel yang bermain didalamnya. Mulai dari rasa kasihan, emosi, egois pribadi dan kelompok, kebodohan pribadi dan massal, bergesernya nilai, maupun sikon saat kebenaran itu diungkapkan.
Hari kamis yang lalu saya mengalami kejadian unik yang menggambarkan betapa sulitnya mengungkapkan kebenaran. Siang itu , tepatnya pukul setengah satu, saya bersama seorang teman sekelompok Abau mengunjungi sebuah perusahaan bengkel bernama F*** Jaya ( F*** disini bukan umpatan lho) yang ada di daerah Kircon. Setelah menunggu setengah jam di luar bengkel akhirnya waktu istrahat berahir, artinya kami boleh bertanya kepada pegawai bengkel tsb tentang hal yang berkaitan dengan tugas dan meminta hasil sketsa kami dicap perusahaan.
Sepuluh menit pertama kejadiannya masih biasa. Saya dan teman dengan nyamannya bertanya kepada pegawai perusahaan ini. Nah, memasuki menit ke sebelas, kehebohan pun dimulai. Wanita pemilik perusahaan datang dengan muka masam. Langsung bertanya tentang part yang dipinjam dan meminta uang sewa menyusul perpanjangan pinjaman. Si ibu pun nyolot dan menekan kami agar memberi makanan dan rokok sebagai ucapan terima kasih. Katanya mahasiswa sekarang gak tahu terima kasih dan suka sepele. Saya awalnya senyum-senyum saja, sampai akhirnya beliau berkata ” Semua perusahaan pasti minta bayaran dan dipersulit, disini saja yang tidak, kami ini terlalu mudah !”. Saya pun ( entah dipicu emosi atau rasa kebenaran) berkata ” Nggak juga bu” . Dan saya tahu betul, soalnya teman-teman lain tidak dibeginikan. Mungkin saya belum pintar berterima kasih, tapi rasanya kalau rasa terimakasih muncul karena dipaksakan, itu bisa jadi pamrih. Saya kurang sreg dengan pamrih.
Saat mendengar pernyataan ”tidak”, dianya semakin marah dan berkata – kata bahwa masalah beginian walaupun tidak kuliah tapi ia lebih tahu.Malah saya diancam tidak mendapat tanda tangan dan part saya langsung di tarik. Untung teman saya langsung sigap mengingatkan. Saya pun langsung memposisikan diri ” Saya gak ngambil part disini kok bu. Nama saya Arif. Liat aja didaftar. Gak ada kan? ”. Hehehe.Yang ngambil part dan mendaftar diri memang teman disebelah saya. Woo,marahnya pun menjadi-jadi. Beliau ,sambil marah, bernostalgia. ” Saya punya kenangan buruk dengan kakak kelas kalian !”. Entah apa kenangan buruknya, beliau tidak menjawab ketika ditanya.
Wuih. Kepahitan pengungkapan kebenaran ini begitu nyata. Walaupun lingkupnya masih kecil, tapi bisa ” memahitkan” saya dan dua orang anggota kelompok yang lain. Bayangan ketika saya harus mengulang semua dari awal tugas karena part diambil dan cap perusahaan tak diberikan sempat muncul. Alhamdulillah ini tidak terjadi.
Yah, tindakan nyolot dan marah ini saya yakini dilatarbelakangi berbagai alasan. Kemungkinan terkuat adalah karena anak beliau sedang sakit ( hal ini diucapkan saat marah-marah tadi). Mungkin karena kehadiran kami menggangu kinerja pegawai-pegawainya. Bisa jadi memang mahasiswa ini yang tidak tahu berterrima kasih dan kurang beretika. Kemungkinan terahir yang juga sempat terpikirkan adalah beliau berharap mendapat keuntugan dari peminjaman part yang banyak dilakukan mahasiswa. Wallahu a’lam.
Kebenaran itu (bisa) pahit. Pahit isinya. Pahit penyampaiannya. Namun ianya menyehatkan jiwa. Seperti obat. Pahit diawal, tapi menyehatkan .
Jadi walau pahit, kebenaran harus selalu diperjuangkan!
Hari kamis yang lalu saya mengalami kejadian unik yang menggambarkan betapa sulitnya mengungkapkan kebenaran. Siang itu , tepatnya pukul setengah satu, saya bersama seorang teman sekelompok Abau mengunjungi sebuah perusahaan bengkel bernama F*** Jaya ( F*** disini bukan umpatan lho) yang ada di daerah Kircon. Setelah menunggu setengah jam di luar bengkel akhirnya waktu istrahat berahir, artinya kami boleh bertanya kepada pegawai bengkel tsb tentang hal yang berkaitan dengan tugas dan meminta hasil sketsa kami dicap perusahaan.
Sepuluh menit pertama kejadiannya masih biasa. Saya dan teman dengan nyamannya bertanya kepada pegawai perusahaan ini. Nah, memasuki menit ke sebelas, kehebohan pun dimulai. Wanita pemilik perusahaan datang dengan muka masam. Langsung bertanya tentang part yang dipinjam dan meminta uang sewa menyusul perpanjangan pinjaman. Si ibu pun nyolot dan menekan kami agar memberi makanan dan rokok sebagai ucapan terima kasih. Katanya mahasiswa sekarang gak tahu terima kasih dan suka sepele. Saya awalnya senyum-senyum saja, sampai akhirnya beliau berkata ” Semua perusahaan pasti minta bayaran dan dipersulit, disini saja yang tidak, kami ini terlalu mudah !”. Saya pun ( entah dipicu emosi atau rasa kebenaran) berkata ” Nggak juga bu” . Dan saya tahu betul, soalnya teman-teman lain tidak dibeginikan. Mungkin saya belum pintar berterima kasih, tapi rasanya kalau rasa terimakasih muncul karena dipaksakan, itu bisa jadi pamrih. Saya kurang sreg dengan pamrih.
Saat mendengar pernyataan ”tidak”, dianya semakin marah dan berkata – kata bahwa masalah beginian walaupun tidak kuliah tapi ia lebih tahu.Malah saya diancam tidak mendapat tanda tangan dan part saya langsung di tarik. Untung teman saya langsung sigap mengingatkan. Saya pun langsung memposisikan diri ” Saya gak ngambil part disini kok bu. Nama saya Arif. Liat aja didaftar. Gak ada kan? ”. Hehehe.Yang ngambil part dan mendaftar diri memang teman disebelah saya. Woo,marahnya pun menjadi-jadi. Beliau ,sambil marah, bernostalgia. ” Saya punya kenangan buruk dengan kakak kelas kalian !”. Entah apa kenangan buruknya, beliau tidak menjawab ketika ditanya.
Wuih. Kepahitan pengungkapan kebenaran ini begitu nyata. Walaupun lingkupnya masih kecil, tapi bisa ” memahitkan” saya dan dua orang anggota kelompok yang lain. Bayangan ketika saya harus mengulang semua dari awal tugas karena part diambil dan cap perusahaan tak diberikan sempat muncul. Alhamdulillah ini tidak terjadi.
Yah, tindakan nyolot dan marah ini saya yakini dilatarbelakangi berbagai alasan. Kemungkinan terkuat adalah karena anak beliau sedang sakit ( hal ini diucapkan saat marah-marah tadi). Mungkin karena kehadiran kami menggangu kinerja pegawai-pegawainya. Bisa jadi memang mahasiswa ini yang tidak tahu berterrima kasih dan kurang beretika. Kemungkinan terahir yang juga sempat terpikirkan adalah beliau berharap mendapat keuntugan dari peminjaman part yang banyak dilakukan mahasiswa. Wallahu a’lam.
Kebenaran itu (bisa) pahit. Pahit isinya. Pahit penyampaiannya. Namun ianya menyehatkan jiwa. Seperti obat. Pahit diawal, tapi menyehatkan .
Jadi walau pahit, kebenaran harus selalu diperjuangkan!
6 Comments:
iya rif...
pahit juga denger kebenaran bahwa kita imbas dari kepahitan yg dirasakan ibu itu karena kakak kelas kita.
Jadi, gimana agar kebenaran itu tetap terjaga, memang harus dimulai dari kita juga..
Karena semuanya berkesinambungan..
Semoga adik-adik kelas kita tidak tersulitkan karena hal-hal yang kita lakukan..
Amiin..
amiin..
Bingung...
Kebenaran itu 0 dan 1..
Kebaikan itu antara 0 dan 1..
yang mana kebenaran dan yang mana kebaikkan??
(hehe.. aneh mode on)
kejadian ini berulang..
dulu juga angkatan gw dapet imbas dari kakak sebelumnya dengan tertutupnya beberapa perusahaan karena kejadian masa lalu...
hehe, i guess we never learn...
but i hope you will
makanya saya bingung juga dengan kesederhanaan kebenaran..
sedang untuk hal yang sudah benar dan baik pun itu bisa jadi kondisional. tergantung orang. tergantung nilai yang dianut.
gw rasa kalian terlalu berlebihan..
ini semua kan cuman karena faktor KIRCON doang hahahahaha.....
hidup di Kircon keras,bung...hehehehe
ngomong2..kapan kite2 mabit di tempat gw nih??? kagak jadi2...ramadhannya udah lewat,bos adi keburu balik kemaren..huuhuhu...
wah,benar juga..emang dasar kircon!
hahhaha
btw ini syapa? ngajak mabit?
ente cowok kan?
hahhaha
Post a Comment
<< Home